Bertani Organik, Siapa Takut
Sekelompok petani di Dusun Sumberejo Desa Yosorati Kecamatan SUmberbaru melakukan terobosan pertanian di awal musim tanam tahun 2013 ini. Mereka yang tergabung dalam kelompok Bunda Sri Madrim (BSM) Sumberejo - Yosorati menerapkan kembali pola pertanian ala nenek moyang yang sudah berpuluh-puluh tahun ditinggalkan. Namun penggunaan kembali pola lama ini diperbarui dengan bioteknologi.
Ketika paska panen juga akan dibarengi sistem manajemen yang modern karena hasil panen akan dibeli khusus untuk memenuhi kebutuhan pangan organik. Kusdi, warga dusun setempat merelakan sawahnya seluas 2,3 hektare untuk dijadikan tempat uji coba pertanian organik. Bibit padi yang digunakan adalah benih Bunda Sri Madrim, salah satu benih padi galur murni asli Indonesia.
Menggunakan pola pertanian organik karena selama proses pra tanam dan tanam, 100 persen menggunakan bahan pendukung organik. "Tidak ada obat ataupun pupuk kimia dalam pola kami. Selain itu, selama penanaman juga di bawah pengawasan dan standar kelompok BSm," ujar Bambang Haryono, inisiator kelompok BSM Project Sumberejo - Yosorati.
Kelompok ini menggunakan pupuk organik dari tinja dan urin sapi, ditambah kalsium dan bio-kultur yang dikembangkan oleh tim Bambang. Bambang menerangkan, sebelum bibit padi ditanam, tanah yang sebelumnya digunakan untuk areal pupuk kimia harus diremajakan. Perlakukan peremajaan tanah ini pada intinya sama dengan peremajaan tanah saat hendak menanam padi.
Akan tetapi kelompok BSM ini mempunyai perbedaan dan standar yang harus dilakukan. "Tidak hanya dibajak, tanah dibalik kemudian diratakan. Namun dalam peremajaan itu, tanah harus diberi pupuk organik yang terbuat dari kotoran sapi, kalsium dan bio-kultur tadi," tegas Bambang. Jerami sisa panen sebelumnya tidak dibakar atau dicabut. Jerami itu ditutupi dengan pupuk organik tersebut. Untuk satu hektare sawah dibutuhkan 2 - 3 ton kotoran sapi yang telah dicampur dengan kalsium (CaCo3) dan bio-kultur tersebut.
Jerami yang telah ditumpuki pupuk organik kemudian dibajak. Dalam proses itulah, pupuk organik bekerja untuk menciptakan humus dan mematikan gulma yang ada di tanah. Setelah dibajak, tanah diratakan dan diairi dengan ketinggian tertentu. "Proses ini membutuhkan waktu antara 5 - 7 hari. Selama 2 - 3 hari sebelum panen, tanah yang diratakan itu kembali diberi pemupukan dasar," lanjut Bambang.
Usai peremajaan tanah, bibit yang telah cukup umur antara 10 - 14 hari siap ditanam. Kamis (10/1) Surya, menyaksikan prosesi tanam benih BSM organik yang mempunyai standar operasional berbeda dengan penanaman padi pada umumnya. Benih BSM organik ini harus ditanam per satu bibit atau satu bulir. Jarak antar tanaman 25 centimeter. Sehingga jika dibandingkan dengan benih yang sama-sama ditanam di sebelah tanah Kusdi, sawah tersebut terlihat belum ditanami bibit padi.
"Karena memang hanya satu batang dan dengan jarak yang sudah diatur. Kalau pada umumnya kan dalam satu lubang itu bisa tiga - empat bibit atau bulir," lanjut Bambang. Pengaturan ini diperlukan karena dalam uji coba sebelumnya, benih BSM menghasilkan rata-rata 500 bulir per satu batang, sedangkan padi yang ditanam dengan pupuk kimia hanya menghasilkan 200 butir gabah per satu batang. Dengan begitu, jumlah produksi benih yang ditanam dengan pertanian organik ini lebih banyak.
Bambang mengklaim dalam setiap hektare tanaman padi, bisa menghasilkan 20 - 30 ton gabah organik. Sedangkan padi dengan pola tanam kimiawi paling banter hanya menghasilan 6 ton per hektare. Sementara Kusdi mengaku mau bertanam organik karena pola yang diterapkan menjanjikan> "Kami para petani juga tentunya ingin untung. Kalau hasilnya lebih banyak dan yang digunakan lebih murah karena pakai pupuk organik dengan kotoran sapi kenapa tidak," tegas Kusdi.
Blog Ini Didukung Oleh :
0 comments:
Post a Comment