Pendidikan Pertanian Belum Fokus
Julukan
Indonesia sebagai negara agraris bukanlah jaminan untuk mencukupi
kebutuhan pangan. Bahkan pada bidang komoditi pangan pokok, Indonesia
masih harus impor dari negara lain. Rektor Institut Pertanian (Instiper)
Yogyakarta Dr Purwadi Ms menilai persoalan pangan yang masih menjadi
kendala di Indonesia, disebabkan sistem pendidikan yang belum
memunculkan pembangunan di sektor pertanian dan perkebunan. Meskipun
pada kenyataannya terdapat sejumlah perguruan tinggi yang memiliki
fakultas di bidang pertanian.
”Saya khawatir mereka yang kuliah di perguruan tinggi negeri masih berpikiran pada orientasi pangan, karena kompentensinya masih mengekor pada program pemerintah,” jelas Purwadi, di Instiper, Rabu 16 Januari 2013. Menurut Purwadi, fakultas pertanian yang ada saat ini masih belum fokus pada satu kompetensi tertentu. Karena pendidikan pertanian yang diajarkan masih bersifat umum. Seharusnya, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berani mendorong fakultas pertanian di daerah, untuk fokus dalam pengelolaan potensi daerah.
"Seperti contohnya, bila Sumatera kaya akan karet, kopi dan tebu seharusnya di perguran tinggi di sana fokus pada pengembangan produk lokal daerah. Atau yang di Sulawesi belajar soal kakao,” ujarnya. Menurut Purwadi, seandainya Indonesia berani melakukan reposisi tersebut maka hasil sumber daya alam luar biasa tersebut tidak akan terkejar oleh negara lain. Dengan kondisi sumber daya alam yang ada sekarang, pria asal Magetan ini yakin, Indonesia mampu mengendalikan bahan pangan berbasis pertanian yang ada di dunia.
”Seharusnya Indonesia bisa mengendalikan bila faktor-faktor produksinya dikelola dengan baik. Indonesia kan salah satu negara penghasil kelapa sawit dan kakau terbesar di Indonesia,” jelasnya. Diungkapkan Purwadi, dahulu Vietnam banyak belajar tentang pertanian kopi dari Indonesia. Sekarang, justru produksi vietnam di atas Indonesia. Ini karena Vietnam cukup fokus meningkatkan produksi kopi yang di dukung hasil riset dari perguruan tinggi.
Di Instiper sendiri, Purwadi menerangkan, sudah melakukan pengembangan pendidikan berdasarkan kompetensi tertentu, yakni perkebunan kelapa sawit. Prodi-prodi yang diselenggarakan pun berkaitan dengan kelapa sawit. ”Daya serap lulusan sangat cepat. Ini dibuktikan setelah ujian akhir banyak mahasiswa Instiper yang sudah bekerja di industri-industri kelapa sawit,” terangnya.
Karenanya, Purwadi mendorong kepada perguruan tinggi lain untuk menyelesaikan persoalan pertanian bersama-sama. ”Kami tidak merasa takut tersaingi. Di bidang perkebunan sawit saja kami menguasai,” ujarnya.
”Saya khawatir mereka yang kuliah di perguruan tinggi negeri masih berpikiran pada orientasi pangan, karena kompentensinya masih mengekor pada program pemerintah,” jelas Purwadi, di Instiper, Rabu 16 Januari 2013. Menurut Purwadi, fakultas pertanian yang ada saat ini masih belum fokus pada satu kompetensi tertentu. Karena pendidikan pertanian yang diajarkan masih bersifat umum. Seharusnya, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan berani mendorong fakultas pertanian di daerah, untuk fokus dalam pengelolaan potensi daerah.
"Seperti contohnya, bila Sumatera kaya akan karet, kopi dan tebu seharusnya di perguran tinggi di sana fokus pada pengembangan produk lokal daerah. Atau yang di Sulawesi belajar soal kakao,” ujarnya. Menurut Purwadi, seandainya Indonesia berani melakukan reposisi tersebut maka hasil sumber daya alam luar biasa tersebut tidak akan terkejar oleh negara lain. Dengan kondisi sumber daya alam yang ada sekarang, pria asal Magetan ini yakin, Indonesia mampu mengendalikan bahan pangan berbasis pertanian yang ada di dunia.
”Seharusnya Indonesia bisa mengendalikan bila faktor-faktor produksinya dikelola dengan baik. Indonesia kan salah satu negara penghasil kelapa sawit dan kakau terbesar di Indonesia,” jelasnya. Diungkapkan Purwadi, dahulu Vietnam banyak belajar tentang pertanian kopi dari Indonesia. Sekarang, justru produksi vietnam di atas Indonesia. Ini karena Vietnam cukup fokus meningkatkan produksi kopi yang di dukung hasil riset dari perguruan tinggi.
Di Instiper sendiri, Purwadi menerangkan, sudah melakukan pengembangan pendidikan berdasarkan kompetensi tertentu, yakni perkebunan kelapa sawit. Prodi-prodi yang diselenggarakan pun berkaitan dengan kelapa sawit. ”Daya serap lulusan sangat cepat. Ini dibuktikan setelah ujian akhir banyak mahasiswa Instiper yang sudah bekerja di industri-industri kelapa sawit,” terangnya.
Karenanya, Purwadi mendorong kepada perguruan tinggi lain untuk menyelesaikan persoalan pertanian bersama-sama. ”Kami tidak merasa takut tersaingi. Di bidang perkebunan sawit saja kami menguasai,” ujarnya.
Blog Ini Didukung Oleh :
0 comments:
Post a Comment